KISAH BUTIRAN WAKTU
Kedua laki laki muda berbadan kurus kering nampak berjalan tertatih tatih di tengah hutan yang gelap, gerimis berjatuhan didedaunan masa lalu dan kilatan petir seperti amarah dibelakang mereka. Terlihat jelas salah seorang memapah yang lain yang nampak terluka parah. Pakaian mereka terlihat compang camping.
"Yusuf, bertahanlah. Yusuf!!" teriak pemuda berperawakan jangkung berambut cepak yang sedang memapah "Tentara Jepang itu tidak akan berhenti mengejar dan mencari kita"
Tapi tenaga Yusuf temannya berambut hitam ikal dan gondrong itu terlihat semakin melemah.
"Aku tak kuat, kaki dan pinggulku sakit" keluh pemuda usia 18 tahun dan berhidung mancung itu lirih.
Isa, mencari pohon besar yang terlindung belukar dan menurunkan tubuh Yusuf. Tubuh itu disandarkan kepohon pulai besar. Dia memeriksa bekas cambukan dipinggul dan luka bekas tembakan dipaha kiri yang terus saja berdarah walau sudah dibalut dengan kaos dalam. Dia memandang wajah temannya, yang menatapnya sendu.
"Kita harus terus bergerak!"katanya mengguncangkan tubuh Yusuf. "kalau tertangkap kita mati"
Pemuda terluka itu menggelengkan kepalanya. rambut gondrong ikalnya tergerai bebas dibahunya. Garis muka itu terlihat tegas walau tatapan matanya semakin meredup.
"Kamu pergilah, jika ada waktu dan selamat, mampirlah ke kampung sungai ular. Berikan ini pada Aisya...dan jaga dia baik baik untukku" tangannya gemetar membuka genggamannya, sebentuk cincin kotor dari perak. Isa mengambilnya. Pemuda jangkung itu melihat samar samar airmata diwajah sahabatnya itu. Jika dalam situasi normal ingin sekali dia tinggal atau menggendong tubuh lemah itu untuk pulang bersama sama. Dalam hati dia menangis: "Maafkan aku sahabatku"
"Pergilah cepat! Jangan biarkan kita mati berdua!"Bentak Yusuf.
Dengan ragu Isa berdiri dan memandang mata sahabatnya yang bersinar dalam kesedihah dan penuh harap. Dari kejauhan terdengar bunyi tembakan dan suara anjing menggonggong. Dia menoleh lalu berlari menghilang dikegelapan hutan ditengah hujan yang mulai turun deras.
Yusuf tertinggal sendirian, mata berkaca kaca. Bibirnya bergumam mengucapkan nama Tuhan. Dia tahu sebentar lagi tentara Jepang itu akan menemukannya. Terbayang kekejaman mereka pagi tadi ketika awal terjadi peristiwa kekacauan ditempat kerja paksa romusha. Seorang pekerja baru berlari menghadap seorang tentara Jepang melaporkan seorang pekerja romusha terjatuh dari jembatan ketika sedang memikul beban pekerjaannya. Pekerja itu terlalu lemah karena perutnya lapar. Si tentara Jepang mengikuti kebibir jurang dekat Jembatan gantung darurat itu dibuat dan memandang tubuh yang terkapar nyaris hancur didasar Jurang. Namun dengan bahasa Indonesia kasar dia berkata: "Banyak mati, banyak bagus naaaa.."
Sipekerja terkejut mendengar itu dan pekerja lain mulai berdatangan marah...kekacauan terjadi, beberapa orang ditembak mati dan disiksa hingga terdengar suara darah mencrat dan suara gemeratak tulang patah, yang lainnya berusaha melarikan diri sebisanya termasuk dia dan teman baiknya Isa.
Dan benar tembakan dan gonggongan anjing semakin jelas terdengar disela sela suara hujan deras dan kilatan petir, belum sempat dia berfikir lebih jauh tiba tiba dia merasa pundaknya bagai dicengkram oleh gigitan yang sangat menyakitkan. Anjing anjing terlatih itu telah sampai menerkamnya dengan gigi gigi kematian yang tajam menghunjam, disusul ujung sangkur berkarat menembus bahu kirinya darah masih mencurah walau sedari tadi tidak berhenti mengalir bercampur air. Dalam derita tak terperikan dia tengadah mengucapkan nama Tuhan dan melihat untaian air hujan bagai permata yang dijatuhkan dari langit. Yusuf meninggal seketika dikelilingi oleh enam orang tentara Jepang yang gigih mengejar selembar nyawanya.
Dan hujan semakin deras bagai nyanyian ketika mereka meninggalkan jasad itu tersandar di antara akar pohon pulai dan semak belukar, dalam sepi dan gelapnya hutan kedinginan yang menggigilkan menyelimutinya hingga ketulang. Aku bagai melihat nyata peristiwa itu ketika kakekku Isa menceritanya kembali, aku malu karena sempat malas pergi bersekolah. Kakekku akhirnya menikahi gadis bernama Aisya yang waktu itu masih berusia 16 tahun yang kini rambutnya sudah putih dan memiliki 24 orang cucu, berkut 3 orang cicit.
Aku juga teringat untaian syair Khairil Anwar ini untuk mengenang Yusuf sahabat kakekku.
"ANTARA KERAWANG DAN BEKASI
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami"
(Kisah ini diceritakan oleh almarhum kakekku sendiri dengan bahasa bebas oleh penulis)
Dari Adelinasasa
Kunjungi halaman kami: di
Adelinasasa